GentaNews.id, Jakarta – Isu permintaan Donald Trump agar data warga negara Indonesia dapat diakses oleh Amerika Serikat dalam kerangka negosiasi tarif dagang memantik perdebatan publik.
Meski pemerintah menegaskan bahwa tak ada penyerahan data secara bebas, sejumlah pengamat menilai perjanjian ini patut dicermati secara lebih kritis, terutama dari sudut pandang kedaulatan digital.
Salah satunya adalah Abdul Holik, MA, pengamat kebijakan dan politik, yang menyampaikan pandangannya kepada GentaNews.id melalui sambungan telepon, Rabu malam (24/7/2025).
“Kita mesti jujur melihat ini sebagai bentuk tekanan geopolitik. Trump bukan cuma bicara soal tarif. Dia sedang bicara soal kendali, dan hari ini, kendali itu datang lewat data,” ujar Holik lugas.
Menurutnya, Indonesia saat ini adalah salah satu tambang data paling menjanjikan di kawasan Asia Tenggara. Dengan lebih dari 200 juta pengguna internet yang aktif di berbagai platform digital, data warga RI memiliki nilai strategis tinggi: dari kebiasaan belanja, preferensi politik, hingga perilaku keagamaan.
“Data itu bukan sekadar informasi teknis. Ia adalah cermin kolektif masyarakat. Yang bisa membaca data, bisa membaca arah sebuah bangsa,” tambahnya.
Kang Holik mengingatkan bahwa dalam lanskap digital global, data telah menjadi alat kontrol. Ia menyebut kasus Cambridge Analytica sebagai bukti nyata bagaimana data pribadi bisa digunakan untuk manipulasi opini publik secara masif.
“Kalau kita izinkan data warga mengalir ke luar tanpa kontrol ketat, maka kita memberi celah bagi pihak asing untuk memengaruhi perilaku rakyat tanpa kita sadari. Itulah kolonialisme gaya baru, halus, senyap, dan mematikan,” tegasnya.
Pemerintah melalui Menkomdigi Meutya Hafid sebelumnya menyatakan bahwa kesepakatan data dengan AS dilakukan berdasarkan prinsip perlindungan hukum nasional, merujuk pada UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi. Namun Kang Holik justru mempertanyakan efektivitas perlindungan tersebut, mengingat hingga kini lembaga pelaksana UU itu belum juga dibentuk.
“UU tanpa lembaga pelaksana itu seperti pagar tanpa penjaga. Pemerintah jangan buru-buru buka keran data sementara mekanisme pengawasan belum siap,” kritiknya.
Kang Holik juga menyoroti framing pemerintah yang menyebut transfer data lintas negara sebagai praktik global yang lazim. Menurutnya, hal itu memang benar, namun tidak bisa disamakan secara mentah-mentah.
“Negara-negara G7 bisa lakukan itu karena punya sistem yang kuat. Uni Eropa punya GDPR. Kita? Baru belajar jalan, jangan langsung ikut maraton,” pungkasnya.