Seperti halnya semua orang mempunyai kepribadian, Mang Endang punya kepribadian. Yaitu kompleksnya sebagai anak orang besar, besar sekali. Dan karena itu ia mengira di HMI ia akan menjadi orang besar pula. Ternyata tidak bisa. Sebab idiomnya berbeda, jargonnya berbeda, pilihan kalimatnya juga berbeda., sehingga tidak bisa berkomunikasi. Dan karena itu dia tertolak. Hal itu membuatnya sangat frustasi
Lalu karena dia banyak omong, dikiranya dia besar. Padahal tidak. Dalam penyusunan NDP, satu kalimat pun tidak ada perannya.” tulis Cak Nur (lihat Demi Islam Demi Indonesia, hal 164).
Setelah tiga paragraf penjelasan judul tadi, juga penjelasan duduk perkara teks NDP, yang sangat gahar, vulgar, marilah kita melanjutkan menguliti kembali tulisan Dedi Jamaludin dan langsung loncat ke bagian dia mengatakan adanya pengedepanan brainwashing dalam penyampaian NDP.
Lagi-lagi Dedi Jamaludin keliru dengan beberapa konsep dasar dari suatu istilah teknis akademik. Ketika menyebut adanya dekonstruksi konsep ketuhanan dalam NDP, dia menyamakannya dengan metode brainwashing. Dicampuradukkan olehnya suatu istilah teknis ilmu psikologi dengan istilah ilmu filsafat. Dikiranya sama saja antara air putih dan air kopi.
Memang pernah ada suatu masa para NDPers menggunakan teknik brainwashing ini. Sebagaimana lazim diterapkan pada tentara dalam era perang dingin. Brainwashing, terjadi sepanjang era ketika HMI mulai diinfiltrasi gerakan harakah awal tahun 1980an. Ada Toni Ardi sebagai contohnya.
Kader oleh NDPers diserang identitas dirinya, disebutkan kesalahan, dosa, pengkhianatan diri, kelemahan, dipaksa mengakui semua kelemahan, hidup damai dan harmoni dan penyaluran rasa bersalah itu untuk suatu gerakan ilahiah, dan disebutkannya kelahiran kembali suatu individutercerahkan. Tetapi infiltrasi ini tidak bertahan lama di HMI. Dan selanjutnya hanya bisa hidup di gerakan dakwah kampus mahasiswa yang suka mengikuti muhasabah, malam bina iman takwa (mabit) dan mobilisasi.
Jika brainwashing adalah teknik menguasai psikis, maka dekonstruksi teologi historis adalah metode filsafat Derriderian. Di Bandung awal tahun 2000an ada misalnya Andito, seorang mahasiswa Bahasa Perancis UPI angkatan 92 yang juga dikenal sebagai NDPers dengan metode dekonstruksi teologi historis.
Mengapa dia menggunakan metode dekonstruksi? Ya karena kemungkinan, ilmu itulah yang paling dikuasainya sebagai calon sarjana bahasa Perancis yang mesti belajar pemikiran filsafat sosial Perancis seperti Jacques Derrida.
Di sini kita tidak melihat ada yang aneh-aneh dengan pilihan trend penyampaian metode NDP. Jangan seperti pepatah, buruk muka cermin dibelah. Ketidakmengertian kita pada suatu ilmu atau metode ilmu jangan membuat kita memaki-makinya dan menjadikanya sebagai tak layak dipelajari atau diteruskan. Seingat saya tak pernah berhenti bidang pembinaan anggota di HMI Bandung atau bidang kajian ilmu sejak awal 2000an membuat agenda-agenda yang kalau dicermati adalah melulu pengayaan wawasan NDP, bahkan usulan pergantian teks NDP.
Sampai sini saya katakan kontradiksi kesekian dari Dedi Jamaludin dan mungkin juga banyak alumni HMI lainnya yang suka sekali nampaknya dengan sloganisme. Marilah kita kembali ke NDP Cak Nur katanya. Yang kalau dicek di rumahnya alumni itu, bisa jadi tak ada satupun ada buku Cak Nur sebagai referensi. Cak Nur sudah lama menjadi orang kafir bagi sebagain alumni. Barulah ketika ada masalah atau isu tertentu, slogan kembali ke NDP Cak Nur Bergema kembali. Tiba pula giliran ditanya apa itu konsep sekularisasi atau monoteisme radikal, relativisme radikal, kebebasan, teologi negatif, tak jelas juga jawabannya apa dan mengutip dari pemikiran Cak Nur yang mana.
Sebenarnya, sejak tahun 2012 sudah digagas itu di HMI Cabang Bandung apa yang disebut Sekolah Cak Nur (SCN), sempat terselenggara di era Achyar menjadi ketua cabang, sebagai ganti dari Training Revolusi Kesadaran (TRK) dan sebelumnya ada Training Mujahid Dakwah (TMD). Itu semua pembaruan kurikulum dan dinamika kajian NDP yang sepi obrolan atau kurang seksi.
Pada tahun 2018 juga sudah ada pertemuan NDPers nasional, yang menghasilkan Risalah Sawangan dan grup diskusi NDP Reborn dengan anggota Azhari Akmal Tarigan, Harun Songge, Marbawi, Andito, Kun Nurachdiat, Arif Maulana Akhund, Hilman Wahyudi, Dani Ramdani dst. Kelompok NDPer Nasional ini intens mendiskusikan bagaimana NDP sebagai teks ideologi, bisa aplikatif laiknya teks Perjuangan Kita dari Sjahrir, atau Mein Kampft dari Hitler. Intinya NDP bisa kita baca, telaah, kritik, analisis perbandingan dan pedomani. Cuma memang harus diakui kelemahan para NDPers ini, kurang/kalah berpengaruh dibandingkan alumni yang berpolitik atau menjadi politisi.
Demikian paparan singkat ini, tidak semua pikiran saudara Dedi Jamaludin saya tolak. saya setuju pendapatny kalau kualitas pemateri NDP itu perlu peningkatan. Sebab seperti yang saya alami saat diskusi NDPers di Sawangan tahun 2018, penyampaian materi NDP secara akademik, lebih dibutuhkan. Kita tidak membutuhkan kader zombie untuk bawa granat bunuh diri sebagai jihadis dan tunduk pada feodalisme alumni, tetapi untuk mencipta kader insan cita, suatu konsep manusia paripurna dalam rumusan HMI.
Misbahudin
KABID KEKARYAAN HMI Bandung 2004-2005,