Indeks
News  

Kontroversi Upacara 17 Agustus Jabar: Pakaian Ala Nyi Roro Kidul Menuai Kritik

Dedy Mulyadi saatenyerahkan bendera merah putih

Bandung, Gentanews.id – Upacara peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat di Lapang Gasibu, Kota Bandung, pada 17 Agustus 2025, menjadi sorotan publik karena nuansa yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.

Acara yang dipimpin Gubernur Jabar Dedi Mulyadi ini menampilkan pembawa baki bendera berpakaian ala Nyi Roro Kidul dan kehadiran kereta kencana di sekitar area Gedung Sate Jawa Barat, yang dinilai tidak lazim dalam upacara kemerdekaan.

Inovasi yang ditampilkan pada tahun pertama kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi ini menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Kursi kosong bertabur melati dan pakaian khas Nyi Roro Kidul menjadi ciri khas acara yang digagas gubernur ini, namun menimbulkan pertanyaan dari banyak pihak.

Gantira, pemerhati seni dan budaya Sunda yang juga anggota Forum Parlemen Jabar periode 2009-2014, mengkritisi inovasi tersebut. Menurutnya, penggantian petugas pembawa baki bendera merah putih yang biasanya mengenakan pakaian putih berpeci hitam menjadi berpakaian ala Nyi Roro Kidul terkesan aneh dan tidak memiliki korelasi universal dengan hari kemerdekaan Indonesia.

“Pergantian tersebut apakah ingin terlihat menampilkan budaya Sunda atau sensasi Dedi, atau memang Dedi senang dengan hal-hal berbau mistis. Pandangan saya, pakaian ala Nyi Roro Kidul bukan budaya Sunda, tapi lebih pada cerita atau legenda yang berbau mistis,” ungkap Gantira.

Gantira menjelaskan bahwa kisah Nyi Ratu Kidul atau Nyi Roro Kidul sesungguhnya adalah seorang putri Raja Pajajaran terakhir, yaitu Prabu Surya Kencana, putra Aria Wiratanudatar yang dikenal sebagai pendiri Kota Cianjur. Kerajaan Pajajaran ini runtuh pada tahun 1579 atas pengkhianatan Jaya Antea dalam masa penyebaran Agama Islam.

Putri tersebut kemudian bersemayam di daerah Cimandiri yang nama pelabuhannya dinobatkan sebagai pelabuhan Nyi Ratu Kidul oleh masyarakat setempat karena wilayah tersebut menjadi kota pelabuhan.

“Pertanyaannya, korelasinya dengan kemerdekaan dimana?” tanya Gantira. Ia berharap momentum peringatan kemerdekaan lebih mendidik dan tepat dengan menampilkan pahlawan bangsa yang nyata melawan penjajah, ketimbang momen legenda yang berkaitan dengan sejarah runtuhnya Kerajaan Pajajaran.

Menurutnya, momentum yang tepat untuk menampilkan nuansa tersebut adalah pada HUT Jawa Barat, yang tak lepas dari kisah kebangkitan dalam legenda kejayaan para Walisongo. “Intinya momentum peringatannya tidak tepat, tepatnya pada hari jadi HUT Jawa Barat itu baru tepat, itupun tak lepas dari kisah kebangkitan dalam legenda kejayaan para Walisongo,” pungkasnya.

Upacara kemerdekaan dengan nuansa berbeda ini mencerminkan gaya kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi yang tidak konvensional. Namun, inovasi yang ditampilkan dalam upacara HUT ke-80 Kemerdekaan RI ini tetap menjadi bahan perdebatan di kalangan masyarakat Jawa Barat mengenai kesesuaiannya dengan makna kemerdekaan Indonesia.

Exit mobile version