Indeks
News  

Tragedi Brimob Lindas Ojol, Momentum Mendefinisikan Ulang Polri dan Rakyat

Oleh: H. Aceng Roni Syahbana, S.Pd.,M.Si.,AIFO Direktur Eksekutif JOIN Indonesia Bangkit

Aceng Roni Syahbana Direktur Eksekutif JOIN Indonesia Bangkit

Gentanews.id – Malam 28 Agustus 2025 menjadi penanda sejarah kelam bagi institusi kepolisian Indonesia. Ketika rantis Brimob melindas Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojol yang tengah mencari nafkah, bukan hanya nyawa yang melayang—tetapi juga kepercayaan publik terhadap Polri yang semakin hancur berkeping-keping.

Tragedi ini bukan anomali. Ia adalah kulminasi dari krisis identitas institusi yang telah berlangsung puluhan tahun. Polri hari ini berdiri di persimpangan jalan: menjadi institusi yang benar-benar melindungi rakyat, atau terus terjebak sebagai alat kekuasaan yang menindas.

Pertanyaan fundamental yang harus dijawab adalah: untuk siapa sesungguhnya Polri bekerja? Tragedi Affan memperlihatkan betapa jauhnya jarak antara Polri dengan rakyat yang seharusnya mereka lindungi. Seorang pemuda yang sedang bekerja keras mencari rezeki halal justru menjadi korban institusi yang digaji dari pajak rakyat.

Ini bukan sekadar soal prosedur operasional yang salah atau kegagalan komunikasi. Ini adalah manifestasi dari krisis identitas yang mendalam. Polri telah kehilangan kompasny, mereka tidak lagi tahu apakah mereka adalah guardian atau occupier di tanah air sendiri.

Ketika aparat lebih takut kepada atasan daripada kepada Tuhan dan nurani, ketika mereka lebih peduli pada instruksi komando daripada nyawa rakyat, maka yang terjadi adalah dehumanisasi sistemik yang berbahaya.

Momentum Koreksi Total

Darah Affan harus menjadi titik balik. Bukan lagi waktu untuk reformasi tambal sulam atau janji-janji kosong. Ini saatnya untuk koreksi menyeluruh yang menyentuh akar permasalahan.

Polri harus kembali kepada hakikat dasarnya sebagai bagian integral dari masyarakat, bukan entitas terpisah yang berdiri di atas rakyat. Konsep “police are the public and the public are the police” harus dihidupkan kembali. Polri bukan tentara yang berhadapan dengan musuh, tetapi warga negara yang bertugas melayani sesama warga negara.

Hubungan ini harus dibangun atas dasar kepercayaan, bukan ketakutan. Rakyat harus melihat polisi sebagai sahabat yang siap membantu, bukan sebagai ancaman yang harus dihindari. Ketika seorang pedagang kaki lima melihat polisi, reaksi pertamanya harus rasa aman, bukan panik.

Budaya kekerasan dan arogansi kekuasaan yang mengakar dalam tubuh Polri harus dicabut hingga ke akar-akarnya. Setiap anggota Polri harus memahami bahwa kekuatan yang mereka miliki adalah amanah rakyat, bukan hak pribadi untuk berbuat semena-mena.

Pelatihan HAM dan etika profesi harus menjadi kurikulum wajib dan berkelanjutan. Namun lebih dari itu, harus ada perubahan fundamental dalam cara Polri memandang diri mereka sendiri dan peran mereka di masyarakat.

Exit mobile version