Indonesia adalah negara berdasarkan hukum, namun dalam praktiknya, dinamika politik seringkali mempengaruhi implementasi aturan hukum. Hal ini terlihat jelas dalam kontroversi pemberian amnesti dan abolisi yang baru-baru ini menjadi perbincangan publik.
Amnesti dan abolisi memang merupakan hak prerogatif presiden berdasarkan tata aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Namun, yang menjadi sorotan bukanlah kewenangannya, melainkan timing dan konteks pemberian amnesti tersebut. Pertanyaan yang muncul di masyarakat adalah: mengapa amnesti dan abolisi diberikan kepada seseorang yang masih dalam proses peradilan dan belum memiliki putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht)?
Keputusan presiden ini tentu menimbulkan reaksi beragam dari masyarakat – ada yang mendukung dan ada yang menentang. Hal ini wajar dalam setiap pengambilan keputusan publik.
Aspek Hukum vs Politik
Perbedaan pendapat masyarakat ini seharusnya menjadi bahan refleksi bagi pemerintah. Jika dasar pemberian amnesti dan abolisi adalah untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, hal tersebut dapat dipahami. Namun, keputusan ini juga harus dievaluasi dari aspek hukum dan keadilan, bukan semata-mata dari sudut pandang politik.
Terdapat kekhawatiran bahwa keputusan ini lebih didorong oleh pertimbangan politik praktis – yaitu untuk memperluas koalisi pemerintahan – daripada semangat menjaga persatuan bangsa. Jika amnesti diberikan setelah proses hukum selesai dan putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap, maka status hukum para tersangka akan lebih jelas.
Implikasi terhadap Sistem Demokrasi
Jika dugaan masyarakat benar bahwa amnesti dan abolisi diberikan karena alasan politik untuk memperluas koalisi, hal ini dapat menciptakan preseden buruk bagi sistem demokrasi Indonesia. Dalam sistem demokrasi yang sehat, diperlukan adanya oposisi yang dapat mengontrol dan mengkritisi kebijakan pemerintah.
Ketika semua kekuatan politik bergabung dalam pemerintahan, siapa yang akan memperjuangkan kepentingan rakyat? Contohnya, isu rangkap jabatan wakil menteri yang juga menjabat sebagai komisaris di BUMN, sementara jutaan rakyat kesulitan mencari pekerjaan. Tanpa adanya kontrol politik yang efektif, kebijakan-kebijakan yang tidak pro-rakyat dapat berlangsung tanpa ada yang mempertanyakan.