Wahyudi Akmaliah, peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengungkapkan pandangan kritis mengenai cara Gibran dan Kaesang, putra Presiden Jokowi, menangani ejekan yang datang dari lawan politik maupun publik. Dalam pengamatannya, kedua bersaudara ini menerapkan strategi komunikasi publik yang unik, yakni membalikkan cemoohan dan menjadikannya bagian dari identitas mereka. Namun, Wahyudi mempertanyakan apakah metode ini selalu efektif atau justru dapat menjadi bumerang.
Sebagai contoh, ketika Gibran salah menyebutkan asam folat sebagai asam sulfat, warganet dengan cepat menjadikannya bahan ejekan, memberi Gibran julukan “Samsul.” Alih-alih menepis atau merespons secara serius, Gibran mengambil langkah tak terduga dengan mengenakan jaket bertuliskan “Samsul” saat debat Pilpres 2024. Menurut Wahyudi, ini adalah langkah cerdik untuk menguasai narasi dan menunjukkan bahwa Gibran mampu mentertawakan diri sendiri, sebuah sikap yang kerap diapresiasi publik.
Namun, situasi berbeda terlihat ketika Kaesang menggunakan pendekatan yang sama. Mengenakan kaos bertuliskan “Mulyono” sebagai tanggapan atas kritik yang diarahkan padanya, Kaesang dianggap oleh sebagian masyarakat justru memperlihatkan kesan sombong. Dalam pandangan Wahyudi, ini adalah titik di mana publik mulai melihat perbedaan sikap antara Gibran dan Kaesang. Jika Gibran berhasil membalikkan ejekan menjadi sesuatu yang simpatik, Kaesang justru menghadapi situasi di mana tindakannya dianggap sebagai simbol arogansi.
Wahyudi menjelaskan bahwa konteks politik sekarang sangat berbeda dibandingkan dengan masa-masa awal Jokowi menjabat. Dulu, ketika anak-anaknya tidak terlibat dalam politik, publik melihat Jokowi sebagai pemimpin yang sederhana dan fokus pada kepentingan umum. Kini, dengan keterlibatan langsung Gibran dan Kaesang dalam dunia politik, polarisasi di masyarakat semakin tajam. Ejekan yang dulu dianggap sebagai cara yang cerdas untuk menangani kritik, kini bisa saja diterjemahkan sebagai sikap yang menegaskan kekuasaan dan keangkuhan.
Dalam hal ini, Wahyudi menyoroti bahwa strategi mengenakan kaos yang dimaksudkan untuk mematahkan kritik justru bisa menimbulkan reaksi sebaliknya. Masyarakat dapat melihatnya sebagai bentuk kesombongan yang menyiratkan bahwa status mereka sebagai anak presiden membuat mereka kebal terhadap kritik. Ini semakin memperkuat kesan negatif di tengah kontroversi yang menyelimuti keterlibatan mereka di panggung politik.
Wahyudi juga menilai bahwa tim komunikasi publik Kaesang seharusnya lebih peka terhadap emosi publik yang sedang marah. Kaos bertuliskan “Mulyono” mungkin terlihat lucu bagi sebagian orang, tetapi bagi publik yang kecewa, itu bisa dianggap sebagai tindakan “tengil” yang memperburuk keadaan. Pesannya seolah-olah menyiratkan, “Saya tetap anak presiden dan Anda tidak bisa berbuat apa-apa.”
Oleh karena itu, Wahyudi menyarankan agar Kaesang dan timnya mempertimbangkan pendekatan yang lebih rendah hati dan reflektif. Menurutnya, alih-alih terus bermain-main dengan ejekan publik, Kaesang perlu menampilkan figur yang lebih bersahaja dan terbuka terhadap kritik, meskipun tantangan ini tentu tidak mudah. Sebuah citra sederhana dan merakyat bisa menjadi cara efektif untuk meredam ketidakpuasan publik dan mengembalikan simpati seperti yang pernah diraih Jokowi di awal masa kepemimpinannya.
Namun, Wahyudi juga menyadari bahwa saran ini mungkin tidak akan mudah diterapkan. “Apakah mereka akan mendengarkan? Siapa tahu. Saya hanya seorang peneliti,” tutupnya dengan nada yang sedikit bercanda.