Bandung, Gentanews.id – Oesman Sapta Odang (OSO) menghadapi tantangan kepemimpinan yang tak pernah dihadapi pendahulunya. Sebagai Ketua Umum Hanura yang terpilih aklamasi untuk kedua kalinya, ia harus memimpin transformasi paling radikal dalam sejarah partai: dari “partai mantan jenderal” menjadi “partai rakyat modern”. Keberhasilan misi ini tidak hanya menentukan masa depan Hanura, tetapi juga warisan kepemimpinannya.
Sejak didirikan pada 2006, Hanura tidak pernah lepas dari bayangan identitas militeristik warisan Wiranto. Budaya hierarkis, pola pikir dari atas ke bawah, dan basis dukungan dari kalangan veteran menjadi ciri khas yang melekat. Identitas ini sempat menjadi kekuatan pada era transisi demokrasi, namun kini justru menjadi beban.
Generasi milenial dan Z yang menjadi mayoritas pemilih 2029 tidak memiliki nostalgia terhadap tokoh-tokoh militer. Mereka menginginkan pemimpin yang dapat dipahami, platform yang konkret, dan partai yang transparan. Stigma “partai mantan jenderal” justru menjauhkan Hanura dari basis pemilih strategis ini.
Di sinilah OSO menghadapi dilema besar. Ia harus merombak fondasi identitas yang telah mapan tanpa kehilangan loyalitas kader yang ada. Transformasi setengah hati hanya akan menciptakan kebingungan identitas yang lebih parah.
OSO membawa kredibilitas berbeda dari Wiranto. Sebagai mantan Ketua DPD dan pengusaha sukses dengan OSO Securitas, ia merepresentasikan sosok sipil yang berpengalaman. Latar belakang pendidikan dan bisnis ini memberikan perspektif modern yang dibutuhkan partai.
Namun, OSO juga memiliki keterbatasan signifikan. Daya tarik personalnya tidak sekuat Wiranto. Dalam politik Indonesia yang masih bergantung pada tokoh, hal ini menjadi kelemahan serius. Publik masih kesulitan mengidentifikasi “siapa OSO” dan “apa yang OSO perjuangkan”.
Keharusan Transformasi
Transformasi yang diperlukan bukan sekadar pergantian merek/brand, melainkan revolusi jiwa partai. Hanura harus mengadopsi empat pilar fundamental: penghilangan struktur hierarkis yang kaku, diversifikasi kepemimpinan lintas generasi, pemosisian ulang ideologi yang progresif, dan digitalisasi sistem organisasi.
OSO harus memimpin perubahan budaya dari komando-kendali menjadi kolaborasi berbasis jaringan. Sistem pengambilan keputusan yang partisipatif harus menggantikan pendekatan dari atas ke bawah yang kaku. Hal ini bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga kredibilitas di mata pemilih muda yang menghargai transparansi.
Diversifikasi kepemimpinan menjadi kunci. OSO tidak bisa sendirian. Ia butuh partner pemimpin dari berbagai generasi dan latar belakang, semisal pengusaha teknologi, akademisi, dan aktivis sosial. Hanura harus menjadi partai yang inklusif, bukan klub eksklusif golongan tertentu.
OSO juga perlu mengembangkan gaya kepemimpinan yang benar-benar berbeda dari pendahulunya. Jika Wiranto mengandalkan karisma militer dan aura kekuasaan, OSO harus membangun karisma sipil berbasis kompetensi, integritas, dan kedekatan dengan rakyat.
Revolusi komunikasi mutlak diperlukan. Dari formal – elite menuju komunikatif -populis. OSO harus aktif di media sosial dengan nada personal dan mudah didekati. Kepemimpinan pemikiran dalam isu kontemporer seperti ekonomi digital, perubahan iklim, keadilan sosial dan sebagainya akan memposisikan Hanura sebagai partai yang berorientasi masa depan.
Platform politik baru harus fokus pada isu yang bergema dengan kekhawatiran kelas menengah bawah antara lain biaya hidup, keamanan kerja, keterjangkauan pendidikan, akses kesehatan. Jargon-jargon klasik tentang stabilitas dan keamanan sudah tidak relevan.
Transformasi akan menghadapi penolakan dari kaum tua yang nyaman dengan keadaan yang ada. OSO harus mengelola manajemen perubahan yang sensitif, perubahan yang cukup radikal untuk dapat dipercaya, namun tidak terlalu mengejutkan hingga memicu pemberontakan internal.
Mobilisasi sumber daya juga kritis. Partai harus bergeser dari pembiayaan patron-klien menuju pendanaan berbasis keanggotaan dan penggalangan dana rakyat yang lebih demokratis.
Pembangunan koalisi dengan masyarakat sipil, profesional muda, dan elemen progresif di partai lain akan menentukan kelayakan elektoral. Hanura tidak bisa menang sendirian, namun butuh ekosistem pendukung.
Momentum Kritis 2025-2029
OSO punya waktu terbatas untuk bergerak. Fase 2025-2026 untuk konsolidasi internal dan pergantian brand. Fase 2027-2028 untuk mobilisasi dan pembangunan koalisi. Fase 2029 untuk kompetisi elektoral.
Target minimal: 5% suara nasional untuk bertahan hidup. Target optimis: posisi sebagai penentu di tingkat nasional dengan 15-25 kursi DPR.
Keberhasilan transformasi akan diukur bukan hanya dari kinerja elektoral, tetapi juga dari perubahan persepsi publik. Dari “partai mantan jenderal yang nyaris punah” menjadi “partai alternatif progresif yang mengejutkan”.
Bagi OSO, ini adalah ujian tertinggi. Ia harus membuktikan bahwa kepemimpinan efektif tidak selalu butuh karisma yang luar biasa, melainkan bisa dibangun atas visi, integritas, dan kemampuan menginspirasi tindakan kolektif untuk perubahan bermakna.
Jika berhasil, OSO dan Hanura akan menjadi studi kasus tentang pembaruan politik yang sukses. Jika gagal, mereka akan menjadi pengingat tentang biaya peluang dari penolakan terhadap perubahan.
Lima tahun ke depan menentukan segalanya. Untuk OSO dan Hanura: now or never.
—
Penulis adalah direktur eksekutif lembaga kajian West Java Institute