News  

Skema Aneh Utang BUMN Rugikan Bank BJB dan UMKM Jawa Barat, Pengamat: Ini Bentuk Penghisapan Sumber Daya Daerah

Abdul Holik, Pengamat Politik West Java Institute

Bandung – Terungkapnya skema pinjaman jumbo 9 BUMN ke Bank BJB dengan total nilai mencapai Rp3,5 triliun memantik keprihatinan luas, khususnya dari kalangan pengamat ekonomi-politik daerah. Menurut keterangan anggota Komisi VI DPR RI, skema pinjaman ini memuat unsur suku bunga di bawah 7 persen, yang dianggap janggal dan berisiko tinggi bagi bank daerah.

Pengamat politik dan tata kelola publik dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Abdul Holik, MA, menyebut bahwa struktur pinjaman tersebut bukan hanya membebani neraca keuangan BJB, tapi juga mengalihkan prioritas pembiayaan dari pelaku usaha kecil dan menengah di Jawa Barat.

“Skema ini membuat BJB terperangkap dalam ilusi keuntungan jangka pendek. Padahal, secara struktural, bank daerah telah kehilangan arah dan identitas sebagai pilar pembangunan ekonomi lokal,” ujar Holik saat diwawancarai oleh wartawan Gentamedia.

Pria yang akrab dipanggil kang Holik menjelaskan bahwa pemberian kredit dengan skema bunga murah kepada BUMN yang seharusnya memiliki akses kuat ke bank nasional maupun internasional, sangat merugikan BJB. Pertama, hal itu menguras likuiditas BJB secara besar-besaran. Kedua, BUMN tidak menjaminkan aset produktif yang sebanding, sehingga risiko kredit macet cukup besar.

“Kita bicara angka lebih dari Rp3,5 triliun. Ini bukan kecil. Jika salah satu BUMN tersebut gagal bayar, BJB bisa kolaps atau minimal mengalami krisis kepercayaan dari para deposan. Ini ancaman nyata terhadap stabilitas bank daerah,” tegasnya.

Ia juga mempertanyakan apa urgensi BUMN seperti PT PPA atau PT Dahana menerima kredit besar dari BJB, padahal mereka bisa mengakses pendanaan langsung dari bank Himbara atau investor besar.

“Mengapa bukan Bank Mandiri atau BRI yang kasih kredit bunga rendah ke mereka? Kenapa justru BJB? Ini pertanyaan publik yang harus dijawab secara terbuka,” katanya.

Lebih lanjut, kang Holik menyoroti dampak langsung kepada pelaku UMKM di Jawa Barat. Menurutnya, Bank BJB seharusnya menjadi lumbung pembiayaan utama untuk sektor riil rakyat, seperti pengrajin, petani, pedagang pasar, dan wirausaha muda. Namun, karena dana besar tersedot ke BUMN, ruang pembiayaan untuk UMKM menjadi sangat sempit.

“UMKM hari ini susah sekali dapat kredit lunak dari bank. Mereka dikenakan bunga 12% atau lebih, dengan jaminan ketat. Padahal mereka adalah tulang punggung ekonomi Jabar. Ironis, ketika BUMN besar malah dapat bunga 6% tanpa banyak syarat,” tutur Holik.

Ini menurutnya menunjukkan adanya pembelokan mandat pembangunan oleh bank daerah, yang semestinya berpihak pada ekonomi rakyat.

“Jika dibiarkan, ini bentuk penghisapan sumber daya ekonomi daerah oleh elite pusat. UMKM dikorbankan demi menyelamatkan kegagalan bisnis BUMN,” kritiknya tajam.

Seruan Evaluasi dan Transparansi
Abdul Holik mendesak agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia, serta Kementerian BUMN melakukan evaluasi menyeluruh terhadap skema ini. Ia juga mendorong BPK dan KPK untuk masuk melakukan audit dan investigasi, terutama jika ada dugaan kolusi antara pejabat BUMN dan petinggi bank.

“Rakyat Jabar punya hak tahu siapa yang bermain di balik skema ini. Ini bukan hanya soal bisnis, ini soal tanggung jawab kepada publik,” katanya.

Kang Holik menekankan bahwa skandal ini harus menjadi pelajaran penting bagi seluruh bank pembangunan daerah agar tidak tergoda pada praktik pragmatis jangka pendek yang bertentangan dengan semangat demokrasi ekonomi.

“BJB dan bank daerah lain harus kembali kepada ruhnya: membangun ekonomi lokal, mendukung pelaku usaha rakyat, dan menjaga kemandirian fiskal daerah,” pungkasnya.

Banner nwisa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *