Sehat Itu Luar Biasa Mahal

Cerita menunggu pasien

Jam 12 malam kebetulan mata belum bisa terpejam, telepon seluler isteriku berdering. Aku lihat di layar panggilan telepon dari mertuaku.

Segera aku bangunkan istriku, barangkali ada informasi sangat penting yang ingin disampaikan.

Banner nwisa

Istriku juga sudah curiga, tak biasanya umi, panggilan istri pada mertuaku, menelepon tengah malam begini.

Betul saja, umi ngabari bahwa Abah sakit keras. Sudah dua kali ke dokter, dan sekarang dirujuk untuk dilakukan tindakan operasi.

Kami tidak begitu terkejut, Abah kurang dari dua bulan lalu di rawat di rumah sakit di Bandung. Sepulang dari Bandung juga pernah beberapa kali ke dokter. Tapi tetap tak menyangka harus masuk meja operasi.

Kami tahu bahwa belakangan Abah mengeluh sakit lambung, anehnya saat ditanya apakah Abah pusing kepalanya. Selalu jawabannya tidak.

Padahal, saya sendiri penderita maag akut. Apabila telat makan beberapa jam saja, asam lambungku sudah pasti naik. Efeknya pusing sakit kepala.

Abah biasanya berobat ke mantri. Mantri itu sejenis tenaga kesehatan, tapi bukan dokter atau bidan. Saya kurang tahu bagaimana sekolah mantri tersebut. Demikian pula gelarnya mantri tersebut apakah gelar dari universitas atau bukan.

Kebetulan umi dan Abah punya mantri langganan berobat. Jadi sudah sugesti kalau sakit kemudian berobat ke mantri penyakitnya sembuh.

Pernah suatu ketika, saya dan keluarga silaturahmi ke rumah mertua. Kebetulan waktu itu sakit lambung saya kambuh. Untuk mengurangi rasa sakit saya minta obat lambung yang biasa di konsumsi oleh mereka.

Saat saya coba obat tersebut ternyata sakitku malah bertambah parah. Perutku terasa makin nyeri, kepalaku pun terasa makin berat. Efek samping lainnya adalah tiap lima belas menit perutku keroncongan minta diisi makanan.

Saya curiga, jangan-jangan rasa sakit tersebut disebabkan oleh efek samping obat yang aku minum dari mertuaku.

Aku berpikir demikian karena pengalamanku saat menkonsumsi obat puyer bintang** dimana sesaat usai minum obat itu sakit lambungku menjadi-jadi. Usut punya usut ternyata karena status obat bintang** termasuk obat keras yang membahayakan apabila terus dikonsumsi.

Aku bukan dokter atau tenaga medis, hanya berasumsi. Pikirku jangan-jangan ada kaitan antara sakit yang diderita dengan obat-obatan yang dikonsumsi sebelumnya.

Obat-obat keras mempunyai residu yang bisa menempel di lambung dan bisa mengikis lapisannya. Saya kira hal ini lama-lama akan menimbulkan sakit lebih parah di lambung.

Kembali ke Abah. Abah menderita bocor lambung. Jadi harus segera di operasi agar kebocoran lambung segera ditindak, supaya efek kebocoran tersebut tidak menyebabkan infeksi.

Kenapa Abah bisa sampai separah ini. Sebagai bahan pelajaran saja, Abah ini usianya sudah menginjak usia 70 tahun. Dokter sudah melarang makanan dan minuman yang berbahaya bagi lambung untuk di konsumsi.

Makanan yang dilarang tersebut misalnya makanan pedas, makanan yang terbuat dari beras ketan seperti ulen, bubur ketan; juga makan berminyak seperti gorengan sudah tidak boleh dikonsumsi. Kopi juga dilarang, terutama kopi sasetan yang mangandung pengawet.

Demikian pula rokok. Dokter sudah melarang merokok. Anak-anak Abah sudah boikot membelikan rokok buatnya.

Namun demikian, larangan dokter dan masukan orang-orang disekitar Abah diabaikan. Dibelakang itu, ia masih merokok dan makan makanan yang seharusnya sudah ditinggalkan.

Anak-anak sudah tahu bahwa kata-kata dokter dan masukan anak-anak tidak di gubris. Tapi apa daya, sebagai anak yang bisa dilakukan sebatas memberi saran, tidak bisa lebih keras lagi dengan mengekangnya.

Sebagai bentuk khidmatnya, tentu saja apabila sakit menyerang lagi yang harus dilakukan adalah mengobati agar ia sembuh sediakala. Anak-anak Abah berusaha melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan tanpa menyinggung otoritasnya sebagai orang tua.

Jangan tanya berapa rupiah biaya berobat yang dikeluarkan. Tidak ada biaya berobat yang murah. Charge rumah sakit bagi pasien sangat banyak, mulai biaya dokter, biaya farmasi, biaya lab, biaya kamar, dan biaya lainnya.

Untuk operasi kecil anggaran yang dibutuhkan tidak kurang dari dua puluh juta. Belum lagi rumah sakit yang menjadi tempat abah di rawat kali ini bagi pasien umum mengenakan deposit dimuka sebum menangani pasien. Keluarga pasien harus siapkan dana dulu sebelum tindakan medis berjalan.

Sistem manajemen informasi rumah sakit juga menyulitkan keluarga pasien. Saya harus bolak-balik sendiri ke ruang farmasi untuk menebus obat. Menurut saya ini tidak efisien, dan merugikan pasien. Karena pasien bisa terlambat tertangani. Koordinasi tiap lini buruk, karena sistem berjalan manual.

Pembayaran dilakukan pertindakan menurutku tidak efisien. Bayangkan, sebelum pasien masuk meja operasi pasien harus bayar down payment 5juta. Beres operasi masuk ruang HCU bayar dulu 400ribu.

Di dalam HCU, sebelum melakukan suntik obat, ganti infus, dll saya harus membayar dulu biaya lab dan biaya obat kurang lebih 1.5juta. saya sendiri yang mengambil obatnya kemudian diserahkan perawat untuk digunakan mengobati pasien. Tambahan obat lain kurang lebih prosedurnya sama.

Kenapa rumah sakit membuat sistem informasi akuntansi yang seburuk itu. Padahal kalau bisa dipermudah kenapa tidak. Idealnya pembayaran biaya-biaya rumah sakit dilakukan diakhir setelah tindakan pengobatan selesai sebelum pasien meninggalkan rumah sakit.

Saking penasaran, saya kemudian bertanya kepada petugas jaga rumah sakit. Jawabannya ternyata karena rumah sakit tidak mau kecolongan obat digunakan tapi tidak dibayar oleh pasien. Sungguh alasan yang tidak bisa diterima.

Rumah sakit memang tidak percaya itikad baik pasien yang berobat. Tanpa struk bayar belum terbukti bisa membayar. Tidak ada jaminan ini adalah kuncinya.

Bagaimana dengan jaminan sosial kesehatan dari BPJS. Meskipun ada fasilitas BPJS, toh tidak semua orang bisa berlangganan dan tidak semua penyakit ditanggung BPJS. Jaminan BPJS pun kadang dinomorsekiankan di rumah sakit, karena yang di dahulukan pasien umum.

Kalau dikalkulasi biaya kesehatan sangat mahal dan perlu cadangan dana yang besar. Karena itu lebih baik menabung untuk sehat daripada menabung untuk rumah sakit.

Menabung sehat dilakukan dengan cara hidup sehat, pola konsumsi sehat, dan sedapat mungkin mengikuti nasehat dokter apabila sudah terlanjur sakit. **

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *