Pemilihan umum atau pemilu merupakan proses demokrasi yang sangat penting untuk menentukan arah kebijakan pemerintah dalam menjalankan negara. Oleh karena itu, setiap negara mempunyai aturan yang ketat dan sanksi pidana bagi pelanggaran pemilu. Di Indonesia, sanksi pidana bagi pelanggaran pemilu diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Sanksi pidana ini ditambahkan karena semakin maraknya pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang ingin memenangkan kandidat tertentu dengan cara-cara yang tidak sah. Pelanggaran yang sering dilakukan adalah menyebar berita bohong atau hoax dan ujaran kebencian selama masa kampanye dan pemilu.
Menyebar berita bohong atau hoax selama masa kampanye atau pemilu merupakan pelanggaran yang sangat serius karena dapat mempengaruhi pemilih untuk memilih calon tertentu. Oleh karena itu, UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 mengatur sanksi pidana bagi pelaku yang terbukti melakukan pelanggaran ini. Sanksi yang diberikan adalah pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 miliar rupiah.
Sanksi pidana juga diberikan kepada pelaku yang menyebarkan ujaran kebencian selama masa kampanye atau pemilu. Ujaran kebencian merupakan tindakan yang menyebarkan kebencian atau permusuhan terhadap kelompok atau individu tertentu berdasarkan perbedaan agama, suku, ras, atau golongan. Tindakan ini sangat merugikan karena dapat memicu kerusuhan dan ketidakstabilan di masyarakat.
Sanksi pidana bagi pelanggaran ini diatur dalam Pasal 280 UU Pemilu No. 7 Tahun 2017. Pelaku yang terbukti melakukan pelanggaran ini dapat dikenakan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak 1 miliar rupiah. Selain itu, pelaku juga dapat dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan hak memilih dan dipidana penjara selama 5 tahun.
Pelanggaran pemilu juga dapat dilakukan oleh oknum yang melakukan kecurangan selama proses pemilihan berlangsung. Kecurangan yang sering dilakukan adalah melakukan tindakan-tindakan yang merugikan peserta pemilu lainnya seperti membayar suara, menggunakan data palsu, atau memaksa warga untuk memilih calon tertentu.
Untuk mengatasi pelanggaran ini, UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 mengatur sanksi pidana bagi pelaku yang terbukti melakukan kecurangan. Sanksi yang diberikan adalah pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau denda paling banyak 1 miliar rupiah. Selain itu, pelaku juga dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan hak memilih dan dipidana penjara selama 5 tahun.
Penegakan sanksi pidana bagi pelanggaran pemilu menjadi sangat penting untuk menjaga integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap pemilu. Oleh karena itu, peran aparat penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan sangat diperlukan dalam menindak pelanggaran pemilu.
Selain itu, partisipasi aktif masyarakat juga sangat penting dalam mencegah pelanggaran pemilu. Masyarakat dapat melaporkan pelanggaran yang terjadi kepada aparat penegak hukum atau panitia pemilu. Masyarakat juga dapat memberikan pengawasan terhadap proses pemilihan umum agar berjalan dengan jujur, adil, dan transparan.
Dalam menjalankan tugasnya, aparat penegak hukum harus bekerja secara profesional dan objektif tanpa pandangan politik atau kepentingan pribadi. Selain itu, aparat penegak hukum harus memastikan bahwa pelaku pelanggaran pemilu mendapatkan sanksi yang setimpal dengan pelanggaran yang dilakukannya.
Referensi:
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pemilihan Umum.
Haris, M. (2018). Pemilihan umum dan penegakan hukum di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Pramono, H. (2019). Hukum Pemilu Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.