Banner mygoalsbjb

Popularitas Tinggi, Kinerja Dedi Mulyadi Justru Jadi Sorotan

H. Ujang Fahpulwaton sekretaris forum parlemen Jabar 2009-2014

Bandung, Gentanews.id – Hampir enam bulan menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat sejak pelantikannya pada 20 Februari 2025, Dedi Mulyadi terus menjadi pusat perhatian publik. Popularitasnya yang tinggi ternyata tidak sejalan dengan penilaian terhadap kinerjanya.

Gaya kepemimpinan Dedi sejak awal memang kerap memicu perdebatan. Sejumlah kebijakan yang ia keluarkan langsung menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan, mulai dari dunia usaha, pendidikan, pondok pesantren, hingga politisi dan aktivis.

Beberapa kebijakan yang paling banyak menuai kritik di antaranya larangan study tour bagi siswa, program memasukkan anak ke barak militer, pembongkaran tempat wisata Hybis yang dianggap melanggar lingkungan, serta perseteruan terbuka dengan anggota DPRD Jawa Barat. Selain itu, penghapusan bantuan untuk pondok pesantren, penggantian nama RS Al Ihsan, hingga kebijakan menambah rombongan belajar dari 36 menjadi 50 kelas juga menjadi bahan perdebatan.

Kontroversi terbaru bahkan muncul dalam peringatan HUT RI ke-80, saat pembawa baki bendera mengenakan kostum ala Nyi Roro Kidul. Keputusan itu dianggap tidak relevan dengan makna kemerdekaan, sehingga kembali menimbulkan polemik.

Tak berhenti di situ, hasil survei nasional yang dirilis platform Muda Bicara ID semakin memperkuat sorotan publik terhadap kepemimpinan Dedi. Dalam survei tersebut, nama Dedi Mulyadi masuk dalam daftar lima gubernur dengan kinerja terburuk. Ia berada di posisi keempat dengan raihan 11,30 persen suara, sejajar dengan nama-nama lain seperti Bobby Nasution (Sumut), Khofifah Indar Parawansa (Jatim), Ahmad Luthfi (Jateng), dan Rudy Masud (Kaltim).

Hasil survei itu mengejutkan banyak pihak, terutama para pendukung Dedi. Pasalnya, di survei yang sama ia juga sempat masuk ke dalam daftar gubernur dengan kinerja terbaik. Kontradiksi ini membuat publik semakin bingung menilai kepemimpinannya.

Sejumlah pengamat menilai fenomena ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara popularitas dan capaian kerja. “Pro-kontra adalah hal wajar dalam kepemimpinan, tapi jika hampir semua kebijakan selalu menimbulkan perdebatan, tentu ada yang harus dievaluasi,” ujar pengamat politik Ujang Fahpulwaton.

Meski begitu, Dedi Mulyadi tetap menjadi figur yang diperbincangkan. Popularitasnya yang tinggi membuat setiap kebijakan selalu mendapat sorotan luas, baik positif maupun negatif. Pertanyaannya kini, mampukah Dedi mengubah persepsi publik di sisa masa jabatannya agar popularitas yang dimiliki benar-benar sejalan dengan capaian kerja nyata?

Banner nwisa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *