Bandung — Penghapusan salah satu tulisan opini dari portal berita nasional Detik.com atas nama keselamatan penulis dan rekomendasi Dewan Pers mengundang respons dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Abdul Holik, M.A., pengamat politik dan kebebasan sipil dari West Java Institute.
Menurut Abdul Holik, langkah penghapusan tersebut menandai kemunduran dalam iklim demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia.
“Ketika ruang bagi opini yang kritis terhadap kebijakan atau penempatan jabatan publik dibungkam, ini bukan lagi soal etika jurnalistik. Ini soal bagaimana kekuasaan semakin tak bisa disentuh kritik. Demokrasi kita sedang disandera,” ujarnya saat diwawancara pada Jumat (23/5).
Tulisan yang sempat terbit berjudul “Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?” tersebut diduga mengkritik penempatan perwira militer aktif atau purnawirawan dalam jabatan sipil strategis. Meskipun isi lengkap tulisan telah dihapus, jejak digital dan reaksi netizen menunjukkan isu tersebut menyentuh keresahan publik.
Abdul Holik menambahkan bahwa ketakutan terhadap ancaman atau intimidasi kepada penulis opini seharusnya menjadi peringatan keras bagi negara.
“Ketika menulis opini menjadi aktivitas yang membahayakan nyawa, itu artinya ada yang sangat salah dalam sistem kita. Padahal, negara seharusnya menjamin ruang aman untuk berpikir kritis, bukan membungkamnya,” ujarnya.
Ia juga menyoroti peran Dewan Pers yang semestinya menjadi penjaga kebebasan pers, bukan justru menjadi bagian dari pengendalian arus informasi.
“Kalau Dewan Pers hanya tunduk pada tekanan kekuasaan, lalu siapa yang bisa menjaga suara publik?” tambahnya.
Isu ini semakin memanas di media sosial, dengan berbagai komentar publik yang menyesalkan tindakan penghapusan tersebut dan mempertanyakan transparansi serta independensi dalam tata kelola negara.
“Publik berhak tahu. Dan ketika suara itu dibungkam, jangan salahkan jika mereka mencari kebenaran dari jalur-jalur alternatif,” pungkas Abdul Holik.