Bandung, Gentanews — Anggota DPRD Jabar Komisi 1 Fraksi Partai Gerindra, M. Syahrir, memberikan respon positif terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan terhadap sistem pemilu proporsional terbuka dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Menurut Syahrir, sistem terbuka tersebut lebih sesuai dengan sistem demokrasi yang sedang diterapkan saat ini, terlebih lagi masyarakat sudah terbiasa memilih secara langsung sejak tahun 2004. Jika ada perubahan, tentunya diperlukan sosialisasi yang lebih lanjut.
Syahrir juga menyatakan bahwa semua perangkat penyelenggara pemilu dan peraturan terkait pemilu mendukung sistem terbuka, bukan sistem tertutup. Ia menyebut bahwa penyesuaian terhadap peraturan-peraturan tersebut tidak mungkin dilakukan dalam waktu singkat.
Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, pada Kamis (15/6/2023) membacakan putusan MK. Dalam putusan tersebut, MK menolak gugatan terkait sistem pemilu dan menyatakan bahwa Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.
“Berdasarkan UUD RI 1945 dan seterusnya, amar putusan mengadili, dalam profesi menolak permohonan profesi para pemohon, dalam pokok permohonan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan.
Dengan adanya putusan uji materi tersebut, pada Pemilu 2024, pemilih dapat secara langsung memilih calon legislatif (caleg) yang mereka inginkan agar dapat menjabat sebagai anggota dewan.
Sebagai informasi, gugatan terkait sistem pemilu ini sebelumnya diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus PDI-P), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono sejak November 2022.
Gugatan tersebut, yang teregistrasi dengan nomor 114/PPU-XX/2022, menyoal sejumlah Pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pasal-pasal yang digugat meliputi Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), dan Pasal 426 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Para pemohon menginginkan diterapkannya sistem pemilu proporsional tertutup atau sistem coblos partai. Mereka berpendapat bahwa sistem pemilu terbuka menyebabkan distorsi peran partai politik. Pasalnya, calon legislatif terpilih bukan ditentukan oleh partai politik, melainkan oleh jumlah suara terbanyak yang diperoleh secara individu. Mereka juga berpendapat bahwa sistem ini mengakibatkan persaingan yang tidak sehat, yang lebih menekankan pada popularitas dan kekuatan finansial calon anggota legislatif.
Namun, sebenarnya Indonesia telah menerapkan sistem proporsional terbuka sejak Pemilu tahun 2004. Putusan MK ini menegaskan kembali bahwa sistem ini masih relevan dan tetap diterapkan pada Pemilu 2024.
Reaksi terhadap putusan MK ini bervariasi. Beberapa partai politik di parlemen menolak sistem proporsional terbuka yang diusulkan oleh PDI-P, tetapi dengan putusan MK, mereka harus menerima bahwa sistem ini akan tetap digunakan. Meskipun demikian, beberapa pihak mungkin masih memiliki kekhawatiran terkait dengan pengaruh individualisme dan kekuatan finansial dalam proses pemilihan.
Dengan putusan ini, diharapkan masyarakat dapat terus berpartisipasi dalam proses demokrasi dan memilih calon legislatif yang mereka yakini akan mewakili kepentingan mereka di tingkat dewan. Pemilu 2024 akan menjadi momen penting dalam menentukan komposisi anggota parlemen dan arah kebijakan negara.