Bandung – Ketua Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengkritik dugaan markup iklan senilai Rp200 miliar di Bank Jabar Banten (BJB) yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Boyamin, kasus ini menunjukkan buruknya tata kelola bank milik daerah.
Boyamin menyatakan bahwa bank milik negara (BUMN) dan bank milik daerah (BUMD) sering menjadi “sapi perah” bagi oknum penguasa. “Oknum penguasa” yang dimaksud adalah pihak-pihak yang memiliki kewenangan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
“Kalau di pusat oknum itu bisa eksekutif atau legislatif. Kalau di daerah bisa gubernur atau DPRD,” ujar Boyamin. Ia menambahkan bahwa dana tersebut bisa digunakan untuk membiayai kepentingan politik atau bahkan masuk ke kantong pribadi.
Kasus di BJB diperparah dengan adanya dugaan keterlibatan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Boyamin mengungkapkan bahwa praktik serupa juga sering terjadi di BUMN, di mana ada kongkalikong antara BUMN dengan anggota BPK.
“BPK punya wewenang mengawasi. Ketemu oknum nakal ya sudah. Dua-duanya bisa bersekongkol untuk menutupi busuknya atau jeleknya tata kelola di BUMN atau di BUMD,” tegas Boyamin.
Sebelumnya, Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu mengonfirmasi bahwa kasus dugaan korupsi penempatan dana iklan Bank BJB telah naik ke tahap penyidikan. Diduga terjadi markup hingga 100% dalam penempatan iklan pada periode 2021-2023, dengan total kerugian mencapai sekitar Rp200 miliar.
Menurut Asep, setiap pemasangan iklan senilai Rp200 juta digelembungkan menjadi Rp400 juta. Yang mengejutkan, dana tersebut diduga tidak hanya mengalir ke direksi BJB, tetapi juga ke sejumlah pejabat lain. Bahkan ada indikasi dana mengalir ke Ahmadi Noor Supit untuk menghapus temuan BPK terkait kasus tersebut.
Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap pengelolaan keuangan di BUMN dan BUMD, serta perlunya reformasi dalam tata kelola perusahaan milik negara dan daerah untuk mencegah praktik korupsi serupa di masa depan.